Minggu, 31 Mei 2015

Problematika Waqaf Non-Muslim dalam Perspektif Fiqih



PROBLEMATIKA WAQAF NON-MUSLIM DALAM PRESPEKTIF FIQIH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah FIqih Waqaf

Dosen Pengampu: Saiful Bahri,








KELOMPOK XII
1.        Kabib Hidayatulloh                            (2824133054)
2.        Maya Sagita                                        (2824133073)

Jurusan: Ekonomi Syariah C
Semester: Tiga (3)
Fakultas: Ekonomi dan Bisnis Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
JAWA TIMUR

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan  makalah Problematika Waqaf Non-Muslim dalam Prespektif Fiqih.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih Waqaf pada jurusan Ekonomi Syariah. Dalam penulisan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Pertama, para anggota kelompok yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga selesai tepat waktu. Kedua, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada bapak Saiful Bahri selaku dosen pembimbing mata kuliah yang telah membimbing kami. Ketiga, serta teman-teman mahasiswa Ekonomi Syariah 3C.
 Semoga dengan diselesaikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian mata kuliah Fiqih Waqaf serta dapat menambah nilai keilmuan dalam pembelajaran. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.

Tulungagung, 07 Desember 2014


Penyusun                    

DAFTAR ISI
COVER     .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
                   A. Latar Belakang..................................................................... 1
                   B. Tujuan Pembahasan ............................................................. 2
                   C. Rumusan Masalah ............................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A.    Pandangan Beberapa Mazhab............................................. 3
B.     Opsi Langkah Alternatif Waqaf dari Non-Muslim............. 4
C.     Wacana Kemungkinan Diperbolehkan Waqaf non-muslim5
BAB IV PENUTUP.................................................................................... 6
A.    Kesimpulan......................................................................... 6
B.     Kata Penutup ..................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 7

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Waqaf merupakan salah satu elemen utama dalam pembangunan kemaslahatan umat. Di samping itu, waqaf juga sebagai wujud ibadah yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hablum minallhah) dan hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum minannas).
Meskipun memiliki potensi yang baik, perwaqafan dalam prakteknya di lapangan masih dihadapkan pada beberapa permasalahan dalam pengelolaannya. Dengan berkembangnya kultur budaya dan transformasi pemikiran manusia menyebabkan kehidupan antar umat beragama bergeser ke arah yang lebih dinamis.
Di lain sisi, dalam tinjauan hukum islam, waqaf sendiri tidak ada sumber hukum utama yang mengkaji secara objektif hukum perwaqafan. Dalam masa kehidupan Rasulullah SAW baik masih di Mekkah maupun di Madinah tidak dijelaskan bagaimana hukum waqaf secara praktek di kehidupan. Kemudian pada berkembangan islam, para ‘ulama melakukan ijtihad dalam memberikan kepastian hukum terhadap waqaf secara objektif.
Saat kehidupan umat beragama berkembang sedemikian dinamis ini, dengan semangat toleransi sosial yang baik, perwaqafan di dalam islam dihadapkan pada beberapa kendala terkait pengelolaan waqaf dalam membangun kemaslahatan. Tidak lepas dari itu, toleransi dan saling membantu antar beragama memberikan beberapa dampak, salah satunya seperti pemberian harta dalam bentuk waqaf dari orang non-muslim untuk dipergunakan oleh orang islam.
Beberapa kalangan masih canggung dalam menentukan hukum dan mengambil langkah dari kejadian seperti demikian. Atau bagaimana diperlukan opsi alternatif dari hal tersebut tanpa menyebabkan sesuatu yang kurang efisien pada masyarakat umum dan pada islam itu sendiri dalam membangun kemaslahatan.
Keadaan yang seperti demikian sudah sepatutnya perlu mendapat perhatian, sehingga dapat mendorong perkembangan pengelolaan perwaqafan ke arah yang lebih optimal. Selain itu, juga memperbaiki nilai produktivitas dari waqaf yang tidak lain adalah visi dan misi dalam perwaqafan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun penulis adalah “Mungkinkah waqaf dari orang non-muslim? Dan bagaimana langkah alternatif dalam pemberdayaan waqaf dari non-muslim untuk kemaslahatan masyarakat umum?
Tujuan Pembahasan
Dengan penyusunan makalah ini, diharapkan membantu dan memberikan persepsi dalam melakukan representasi pengelolaan waqaf yang masih kurang efisien. Lebih dari itu, pengelolaan waqaf juga dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang menyebabkan kurang memberikan manfaat. Serta memberikan beberapa opsi dalam mengoptimalkan pengelolaannya.



BAB II
PEMBAHASAN
Pandangan Beberapa Mazhab terhadap Hukum Waqaf bagi Non-muslim
Waqaf adalah sesuatu ibadah lafaz, artinya walaupun tidak ditetapkan (dipakai) oleh hukum dan hilang miliknya si waqif dari padanya, tetap ada di tangannya. Begitulah pendapat Imam Asy-Syafi’i. Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah, waqaf itu suatu pemberian yang benar tetapi tidak lazim yakni tidak terlepas dari milik si waqif hingga hakim memberikan putusan atau mengumumkan sebagai barang waqaf dan dita’likkan dengan wali waqif.
Alasan Imam Abu Hanifah tidak sahnya waqaf non-muslim yang terjadi, apabila waqaf tersebut dibangun sebuah masjid dan sejenisnya, karena menurut Imam Abu Hanifah waqaf adalah perbuatan ibadah, jadi menurut Imam Abu Hanifah waqaf non-muslim hanya sah jika waqaf non-muslim tersebut hanya diperuntukkan sebagai kepentingan umum saja.
Adapun tentang waqaf non-muslim, mazhab Hanafi mengatakan bahwa waqafnya orang non-muslim tidak sah, jika waqaf tersebut dibangun sebuah masjid, karena menurut mazhab ini mengeluarkan dana untuk masjid adalah sebuah tindakan sedekah, tindakan sedekah adalah taqarrub dalam hukum Islam yang dikhususkan bagi muslim saja.
Berarti waqaf non-muslim yang diperuntukkan selain kegiatan ibadah atau untuk kemaslahatan manusia secara umum diperbolehkan. Dalam memutuskan hukum tersebut, Imam Abu Hanifah tidak pernah mendahulukan qiyas selama masih ada nas. Hukum qiyas dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, apabila keadaan sudah memaksa. Imam Abu Hanifah mengambil qiyas, apabila tidak bertentangan dengan urf yang ada di masyarakat atau kemaslahatan manusia. Bila qiyas itu tidak dapat dilakukan karena berlawanan, maka Imam Abu Hanifah akan meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan.
Sedangkan mazhab Maliki mensyaratkan agar waqif  bisa menjadi mauquf alaih, karena menurut mazhab Maliki orang non-muslim tidak berhak menjadi waqif. Dengan tegas mazhab Maliki mengatakan bahwa waqaf sah hukumnya untuk semua syiar Islam dan badan-badan sosial umum bila waqaf tersebut hanya berasal dari seorang muslim saja.
Berarti waqaf non-muslim menurut mazhab Maliki tidak sah hukumnya apabila waqaf tersebut dipergunakan sebagai pembangunan masjid dan sejenisnya. Metode yang digunakan mazhab Maliki dalam menetapkan hukum adalah suatu hal yang tidak bisa terlepas dengan dasar hukum yang digunakan oleh pendirinya yaitu Imam Malik.
Al-Qur’an digunakan sebagai sumber hukum islam yang utama, karena menurut mazhab Maliki al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir dan al-Qur’an dipandang sebagai qat’i as-subut (riwayatnya diterima secara pasti dan meyakinkan). As-Sunnah merupakan sumber hukum islam yang kedua yang digunakan oleh Imam Malik setelah al-Qur’an, lalu ‘amal ahli Madinah merupakan hujjah yang didahulukan atas qiyas dan khabar ahad, dan qiyas yang berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nas kepada kejadian yang ada nasnya. Imam Malik sangat berhati-hati dalam menerima hadis Rasulullah SAW.
Dari pandangan mazhab Hanafi dan Maliki dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa waqaf non-muslim tidak sah, apabila waqaf non-muslim tersebut ditujukan untuk masjid dan untuk syiar-syiar Islam.
Opsi Langkah Alternatif Pengelolaan Waqaf dari Non-Muslim
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil langkah yang relevan dalam pengelolaan waqaf itu sendiri tanpa mengurangi tujuan utama dari waqaf itu sendiri. Maka waqaf dari pihak non-muslim dapat dialihkan kepada kepentingan umum yang tidak berhubungan dengan syiar-syiar islam yang bersifat lebih produktif.
Beberapa sektor yang layak sebagai sasaran pengelolaan waqaf antara lain pelayanan publik, infrastruktur, pendidikan dan kesejahteraan sosial di masyarakat. Pengelolaan waqaf dalam bidang pendidikan dapat berupa membentuk suatu lembaga pendidikan di masyarakat yang meliputi lembaga informal, formal dan non-formal. Pendidikan merupakan bagian penting yang perlu diperhatikan dalam memdorong index pembangunan manusia.
Selain itu, pelayanan publik juga menjadi prioritas utama dalam pemberdayaan masyarakat. Karena peran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam menangani berbagai kendala-kendala yang menyebabkan laju perekonomian dan masyarakat menjadi kurang optimal.
 Sektor infrastruktur menjadi sasaran utama dalam membentuk masyarakat yang lebih produktif. Keterbatasan masyarakat dalam bidang infrastruktur dan fasilitas kerap kali menjadi hambatan masyarakat dalam kehidupan dan terlepas dari kemiskinan. Regulasi yang dibangun pemerintah masih tidak cukup apabila tidak diikuti peran dari berbagai pihak dan lembaga swadaya guna mengoptimalkan kebijakan yang telah direalisasikan.
Sejalan dengan hal tersebut, kesejahteraan sosial juga menjadi prioritas penting dalam meningkatkan nilai produktivitas pada masyarakat. Dikarenakan tanggung jawab sosial dan jaminan masyarakat menjadi sebuah kewajiban bersama sebagai wujud konsekuensi dalam suatu kehidupan.
Wacana Kemungkinan Diperbolehkan Waqaf Non Muslim
Dalam pandangan literatur fiqih klasik, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa waqaf non-muslim untuk kepentingan ibadah tidak boleh, karena termasuk bagian maksiat. Sedangkan yang diperbolehkan hanya waqaf untuk kepentingan umum saja. Selain itu, pandangan klasik menjelaskan jika waqaf dari non-muslim kepada muslim boleh sedangkan waqaf dari muslim kepada non-muslim tidak boleh.
Dalam kajian saat hokum saat ini, dalam pembahasan terkait waqaf non-muslim dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Waqaf juga tidak ada penjelasan ataupun bab-bab yang mengkaji hokum dari waqaf beda agama atau non-muslim. Adapun beberapa wacana hokum yang secara jelas membahas kajian waqaf beda agama hanya terdapat pada CLD (Counter Legal Draft) yang berisi kajian revisi dari Undang-Undang waqaf yang telah ada terlebih dahulu. Namun pada akhirnya, kajian CLD tersebut tidak mampu direalisasikan dan diterima secara hokum dikarenakan beberapa halangan.
Semakin pesatnya perkembangan toleransi kehidupan beragama menjadikan suatu pertimbangan yang juga cukup penting dalam ranah kehidupan social. Begitu pula dengan wacana tentang diperbolehkannya waqaf terhadap beda agama atau non-muslim. Dalam wacana kemungkinan diperbolehkannya waqaf beda agama setidaknya secara garis besar dapat dipertimbangkan 3 sudut pandang dalam pengkajiannya. Antara lain sudut pandang normative, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang bisnis muamalah.
Sudut pandang normative berkaitan erat dengan pemahaman terhadap kajian teologi keagamaan. Hal tersebut dapat diketahui dalam islam, orang selain memeluk agama islam atau muslim dibagi menjadi tiga golongan. Yaitu orang musyrik, orang kafir, dan orang ahlul kitab. Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap terminology pengertian ketiga golongan tersebut, dan bagaimana hokum serta batasan bagi orang muslim ketika berhubungan social atau bermuamalah terhadap tiga golongan tersebut.
 Selanjutnya sudut pandang social kemasyarakatan, dalam pengesahan hokum terdapat beberapa pertimbangan terkait hal-hal mendukung relevansi hokum tersebut. Salah satunya ialah aspek respon masyarakat. Apabila hokum yang telah dirancang dan diajukan telah memenuhi konteks kajiannya, namun masyarakat masih enggan atau belum siap terhadap adanya hokum yang baru, maka hokum tersebut tidak dapat disahkan pula. Begitu pula di wilayah ranah masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berpola pikir tradisional parsial membuat hokum tentang diperbolehkan waqaf berbeda agama atau non-muslim tidak bisa disahkan dan direalisasikan.
Dan yang terakhir adalah sudut pandang bisnis muamalah. Dalam kajian lingkup ekonomi tersebut diperbolehkan sesama berlainan agama melakukan kegiatan bermuamalah dan tidak ada batasannya, kecuali ada nash qath’i yang melarangnya. Namun system tradisi yang telah berkembang dan mengakar dalam setiap kegiatan kemasyarakatan terkadang menyebabkan sulit hokum yang baru masuk dan merubah kebiasaan dari hokum yang lama.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ü Pemberian waqaf dari non-muslim tidak sah apabila diperuntukkan pembangunan tempat-tempat ibadah dan syiar agama Islam. Demikian pula mazhab Maliki dan Hanafi hanya memperbolehkan untu kepentingan umum saja dalam pengelolaan harta dari non-muslim tersebut.
ü Opsi alternatif yang dapat digunakan dalam pengelolaan harta waqaf tersebut ialah dengan dengan menggunakannya untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Beberapa sektor di lapangan yang perlu digunakan sebagai objek pengelolaan waqaf antara pelayanan publik, infrastruktur, pendidikan dan kesejahteraan sosial yang masih banyak perlu perhatian dari berbagai kalangan.
ü Dalam wacana kemungkinan diperbolehkannya waqaf beda agama setidaknya secara garis besar dapat dipertimbangkan 3 sudut pandang dalam pengkajiannya. Antara lain sudut pandang normative, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang bisnis muamalah.
Kata Penutup
Dengan demikian telah selesai penyusunan hasil pemikiran kelompok kami, dan telah kami sadari bahwa penyusunan makalah kami masih terdapat berbagai kekurangan dari berbagai segi. Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan diselesaikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian mata kuliah Fiqih Waqaf, serta dapat menambah nilai keilmuan dalam pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Daud, Mohammad Ali, 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Waqaf, cet. I, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Departemen Agama, 2006. Paradigma Baru Waqaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Waqaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Praja, Juhaya S., 1997. Perwaqafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan perkembangannya, cet. III, Bandung: Yayasan Piara.
Suhadi, Imam, 2002. Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, cet. I, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar