PROBLEMATIKA
WAQAF NON-MUSLIM DALAM PRESPEKTIF FIQIH
Disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah FIqih Waqaf
Dosen Pengampu: Saiful Bahri,
KELOMPOK XII
1.
Kabib Hidayatulloh (2824133054)
2.
Maya Sagita (2824133073)
Jurusan: Ekonomi Syariah C
Semester: Tiga (3)
Fakultas: Ekonomi dan Bisnis Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
JAWA TIMUR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua,
sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Problematika
Waqaf Non-Muslim dalam Prespektif Fiqih.
Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih Waqaf pada
jurusan Ekonomi Syariah. Dalam penulisan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak. Pertama, para anggota kelompok yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga selesai tepat
waktu. Kedua, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada
bapak Saiful Bahri selaku dosen pembimbing mata kuliah yang
telah membimbing kami. Ketiga, serta teman-teman mahasiswa Ekonomi
Syariah 3C.
Semoga dengan diselesaikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian
mata kuliah Fiqih Waqaf serta dapat menambah nilai keilmuan dalam pembelajaran. Kami menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
Tulungagung, 07 Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR
ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Tujuan Pembahasan ............................................................. 2
C. Rumusan Masalah ............................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Pandangan Beberapa Mazhab............................................. 3
B. Opsi Langkah Alternatif Waqaf dari Non-Muslim............. 4
C. Wacana Kemungkinan Diperbolehkan Waqaf
non-muslim5
BAB IV PENUTUP.................................................................................... 6
A. Kesimpulan......................................................................... 6
B. Kata Penutup ..................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 7
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Waqaf merupakan
salah satu elemen utama dalam pembangunan kemaslahatan umat. Di samping itu,
waqaf juga sebagai wujud ibadah yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan-nya
(hablum minallhah) dan hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum
minannas).
Meskipun
memiliki potensi yang baik, perwaqafan dalam prakteknya di lapangan masih
dihadapkan pada beberapa permasalahan dalam pengelolaannya. Dengan
berkembangnya kultur budaya dan transformasi pemikiran manusia menyebabkan
kehidupan antar umat beragama bergeser ke arah yang lebih dinamis.
Di lain sisi,
dalam tinjauan hukum islam, waqaf sendiri tidak ada sumber hukum utama yang
mengkaji secara objektif hukum perwaqafan. Dalam masa kehidupan Rasulullah SAW
baik masih di Mekkah maupun di Madinah tidak dijelaskan bagaimana hukum waqaf
secara praktek di kehidupan. Kemudian pada berkembangan islam, para ‘ulama
melakukan ijtihad dalam memberikan kepastian hukum terhadap waqaf secara
objektif.
Saat kehidupan
umat beragama berkembang sedemikian dinamis ini, dengan semangat toleransi
sosial yang baik, perwaqafan di dalam islam dihadapkan pada beberapa kendala
terkait pengelolaan waqaf dalam membangun kemaslahatan. Tidak lepas dari itu,
toleransi dan saling membantu antar beragama memberikan beberapa dampak, salah
satunya seperti pemberian harta dalam bentuk waqaf dari orang non-muslim untuk
dipergunakan oleh orang islam.
Beberapa
kalangan masih canggung dalam menentukan hukum dan mengambil langkah dari
kejadian seperti demikian. Atau bagaimana diperlukan opsi alternatif dari hal
tersebut tanpa menyebabkan sesuatu yang kurang efisien pada masyarakat umum dan
pada islam itu sendiri dalam membangun kemaslahatan.
Keadaan yang
seperti demikian sudah sepatutnya perlu mendapat perhatian, sehingga dapat
mendorong perkembangan pengelolaan perwaqafan ke arah yang lebih optimal.
Selain itu, juga memperbaiki nilai produktivitas dari waqaf yang tidak lain
adalah visi dan misi dalam perwaqafan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun penulis adalah “Mungkinkah
waqaf dari orang non-muslim? Dan bagaimana langkah alternatif dalam
pemberdayaan waqaf dari non-muslim untuk kemaslahatan masyarakat umum?
Tujuan Pembahasan
Dengan penyusunan makalah ini,
diharapkan membantu dan memberikan persepsi dalam melakukan representasi
pengelolaan waqaf yang masih kurang efisien. Lebih dari itu, pengelolaan waqaf
juga dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang menyebabkan kurang
memberikan manfaat. Serta memberikan beberapa opsi dalam mengoptimalkan pengelolaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pandangan Beberapa
Mazhab terhadap Hukum Waqaf bagi Non-muslim
Waqaf adalah sesuatu ibadah lafaz,
artinya walaupun tidak ditetapkan (dipakai) oleh hukum dan hilang miliknya
si waqif dari padanya, tetap ada di tangannya. Begitulah pendapat Imam
Asy-Syafi’i. Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah, waqaf itu suatu pemberian
yang benar tetapi tidak lazim yakni tidak terlepas dari milik si waqif hingga
hakim memberikan putusan atau mengumumkan sebagai barang waqaf dan dita’likkan
dengan wali waqif.
Alasan Imam Abu Hanifah tidak sahnya
waqaf non-muslim yang terjadi, apabila waqaf tersebut dibangun sebuah masjid
dan sejenisnya, karena menurut Imam Abu Hanifah waqaf adalah perbuatan ibadah,
jadi menurut Imam Abu Hanifah waqaf non-muslim hanya sah jika waqaf non-muslim
tersebut hanya diperuntukkan sebagai kepentingan umum saja.
Adapun tentang waqaf non-muslim,
mazhab Hanafi mengatakan bahwa waqafnya orang non-muslim tidak sah, jika waqaf
tersebut dibangun sebuah masjid, karena menurut mazhab ini mengeluarkan dana
untuk masjid adalah sebuah tindakan sedekah, tindakan sedekah adalah taqarrub
dalam hukum Islam yang dikhususkan bagi muslim saja.
Berarti waqaf non-muslim yang
diperuntukkan selain kegiatan ibadah atau untuk kemaslahatan manusia secara
umum diperbolehkan. Dalam memutuskan hukum tersebut, Imam Abu Hanifah tidak
pernah mendahulukan qiyas selama masih ada nas. Hukum qiyas dilakukan
oleh Imam Abu Hanifah, apabila keadaan sudah memaksa. Imam Abu Hanifah
mengambil qiyas, apabila tidak bertentangan dengan urf yang ada
di masyarakat atau kemaslahatan manusia. Bila qiyas itu tidak dapat
dilakukan karena berlawanan, maka Imam Abu Hanifah akan meninggalkan qiyas dan
mengambil istihsan.
Sedangkan mazhab Maliki mensyaratkan
agar waqif bisa menjadi mauquf
alaih, karena menurut mazhab Maliki orang non-muslim tidak berhak menjadi waqif.
Dengan tegas mazhab Maliki mengatakan bahwa waqaf sah hukumnya untuk semua
syiar Islam dan badan-badan sosial umum bila waqaf tersebut hanya berasal dari
seorang muslim saja.
Berarti waqaf non-muslim menurut
mazhab Maliki tidak sah hukumnya apabila waqaf tersebut dipergunakan sebagai
pembangunan masjid dan sejenisnya. Metode yang digunakan mazhab Maliki dalam
menetapkan hukum adalah suatu hal yang tidak bisa terlepas dengan dasar hukum
yang digunakan oleh pendirinya yaitu Imam Malik.
Al-Qur’an digunakan sebagai sumber
hukum islam yang utama, karena menurut mazhab Maliki al-Qur’an diriwayatkan
secara mutawatir dan al-Qur’an dipandang sebagai qat’i as-subut (riwayatnya
diterima secara pasti dan meyakinkan). As-Sunnah merupakan sumber hukum islam
yang kedua yang digunakan oleh Imam Malik setelah al-Qur’an, lalu ‘amal ahli
Madinah merupakan hujjah yang didahulukan atas qiyas dan khabar
ahad, dan qiyas yang berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak
ada nas kepada kejadian yang ada nasnya. Imam Malik sangat
berhati-hati dalam menerima hadis Rasulullah SAW.
Dari pandangan mazhab Hanafi dan
Maliki dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa waqaf non-muslim tidak sah,
apabila waqaf non-muslim tersebut ditujukan untuk masjid dan untuk syiar-syiar
Islam.
Opsi Langkah Alternatif Pengelolaan Waqaf dari Non-Muslim
Dari beberapa penjelasan di atas,
dapat diambil langkah yang relevan dalam pengelolaan waqaf itu sendiri tanpa
mengurangi tujuan utama dari waqaf itu sendiri. Maka waqaf dari pihak
non-muslim dapat dialihkan kepada kepentingan umum yang tidak berhubungan
dengan syiar-syiar islam yang bersifat lebih produktif.
Beberapa sektor yang layak sebagai
sasaran pengelolaan waqaf antara lain pelayanan publik, infrastruktur,
pendidikan dan kesejahteraan sosial di masyarakat. Pengelolaan waqaf dalam
bidang pendidikan dapat berupa membentuk suatu lembaga pendidikan di masyarakat
yang meliputi lembaga informal, formal dan non-formal. Pendidikan merupakan
bagian penting yang perlu diperhatikan dalam memdorong index pembangunan
manusia.
Selain itu, pelayanan publik juga
menjadi prioritas utama dalam pemberdayaan masyarakat. Karena peran dari
berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam menangani berbagai kendala-kendala yang
menyebabkan laju perekonomian dan masyarakat menjadi kurang optimal.
Sektor infrastruktur menjadi sasaran utama
dalam membentuk masyarakat yang lebih produktif. Keterbatasan masyarakat dalam
bidang infrastruktur dan fasilitas kerap kali menjadi hambatan masyarakat dalam
kehidupan dan terlepas dari kemiskinan. Regulasi yang dibangun pemerintah masih
tidak cukup apabila tidak diikuti peran dari berbagai pihak dan lembaga swadaya
guna mengoptimalkan kebijakan yang telah direalisasikan.
Sejalan dengan hal tersebut,
kesejahteraan sosial juga menjadi prioritas penting dalam meningkatkan nilai
produktivitas pada masyarakat. Dikarenakan tanggung jawab sosial dan jaminan
masyarakat menjadi sebuah kewajiban bersama sebagai wujud konsekuensi dalam
suatu kehidupan.
Wacana Kemungkinan Diperbolehkan Waqaf Non Muslim
Dalam pandangan literatur fiqih
klasik, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa waqaf non-muslim
untuk kepentingan ibadah tidak boleh, karena termasuk bagian maksiat. Sedangkan
yang diperbolehkan hanya waqaf untuk kepentingan umum saja. Selain itu,
pandangan klasik menjelaskan jika waqaf dari non-muslim kepada muslim boleh
sedangkan waqaf dari muslim kepada non-muslim tidak boleh.
Dalam kajian saat hokum saat ini,
dalam pembahasan terkait waqaf non-muslim dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
tentang Waqaf juga tidak ada penjelasan ataupun bab-bab yang mengkaji hokum
dari waqaf beda agama atau non-muslim. Adapun beberapa wacana hokum yang secara
jelas membahas kajian waqaf beda agama hanya terdapat pada CLD (Counter Legal
Draft) yang berisi kajian revisi dari Undang-Undang waqaf yang telah ada
terlebih dahulu. Namun pada akhirnya, kajian CLD tersebut tidak mampu
direalisasikan dan diterima secara hokum dikarenakan beberapa halangan.
Semakin pesatnya perkembangan
toleransi kehidupan beragama menjadikan suatu pertimbangan yang juga cukup
penting dalam ranah kehidupan social. Begitu pula dengan wacana tentang diperbolehkannya
waqaf terhadap beda agama atau non-muslim. Dalam wacana kemungkinan
diperbolehkannya waqaf beda agama setidaknya secara garis besar dapat
dipertimbangkan 3 sudut pandang dalam pengkajiannya. Antara lain sudut pandang
normative, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang bisnis muamalah.
Sudut pandang normative berkaitan
erat dengan pemahaman terhadap kajian teologi keagamaan. Hal tersebut dapat
diketahui dalam islam, orang selain memeluk agama islam atau muslim dibagi
menjadi tiga golongan. Yaitu orang musyrik, orang kafir, dan orang ahlul kitab.
Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap terminology pengertian ketiga
golongan tersebut, dan bagaimana hokum serta batasan bagi orang muslim ketika
berhubungan social atau bermuamalah terhadap tiga golongan tersebut.
Selanjutnya sudut pandang social
kemasyarakatan, dalam pengesahan hokum terdapat beberapa pertimbangan terkait
hal-hal mendukung relevansi hokum tersebut. Salah satunya ialah aspek respon
masyarakat. Apabila hokum yang telah dirancang dan diajukan telah memenuhi
konteks kajiannya, namun masyarakat masih enggan atau belum siap terhadap
adanya hokum yang baru, maka hokum tersebut tidak dapat disahkan pula. Begitu
pula di wilayah ranah masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berpola
pikir tradisional parsial membuat hokum tentang diperbolehkan waqaf berbeda
agama atau non-muslim tidak bisa disahkan dan direalisasikan.
Dan yang terakhir adalah sudut
pandang bisnis muamalah. Dalam kajian lingkup ekonomi tersebut diperbolehkan
sesama berlainan agama melakukan kegiatan bermuamalah dan tidak ada batasannya,
kecuali ada nash qath’i yang melarangnya. Namun system tradisi yang telah
berkembang dan mengakar dalam setiap kegiatan kemasyarakatan terkadang
menyebabkan sulit hokum yang baru masuk dan merubah kebiasaan dari hokum yang
lama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ü Pemberian waqaf dari non-muslim tidak sah
apabila diperuntukkan pembangunan tempat-tempat ibadah dan syiar agama Islam.
Demikian pula mazhab Maliki dan Hanafi hanya memperbolehkan untu kepentingan
umum saja dalam pengelolaan harta dari non-muslim tersebut.
ü Opsi alternatif yang dapat digunakan dalam
pengelolaan harta waqaf tersebut ialah dengan dengan menggunakannya untuk
kepentingan sosial kemasyarakatan. Beberapa sektor di lapangan yang perlu
digunakan sebagai objek pengelolaan waqaf antara pelayanan publik,
infrastruktur, pendidikan dan kesejahteraan sosial yang masih banyak perlu
perhatian dari berbagai kalangan.
ü Dalam wacana
kemungkinan diperbolehkannya waqaf beda agama setidaknya secara garis besar dapat
dipertimbangkan 3 sudut pandang dalam pengkajiannya. Antara lain sudut pandang
normative, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang bisnis muamalah.
Kata Penutup
Dengan demikian telah selesai penyusunan hasil pemikiran kelompok kami, dan
telah kami sadari bahwa penyusunan makalah kami masih terdapat berbagai
kekurangan dari berbagai segi. Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga dengan
diselesaikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian mata kuliah Fiqih Waqaf,
serta dapat menambah nilai keilmuan dalam pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Daud, Mohammad Ali, 1988. Sistem
Ekonomi Islam Zakat dan Waqaf, cet. I, Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Departemen Agama, 2006. Paradigma
Baru Waqaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Waqaf Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Praja, Juhaya S., 1997. Perwaqafan
di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan perkembangannya, cet. III,
Bandung: Yayasan Piara.
Suhadi, Imam, 2002. Wakaf untuk
Kesejahteraan Umat, cet. I, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar